Obsesi Harjiman
Tampil sosok Seniman lukis kondang dengan berbagai hasil karya yang begitu populair. H. Harjiman, sosok yang berhasil membenahi Kampung Taman Sari sehingga bangkit menjadi pusat kehidupan batik yang menjanjikan lestarinya seniman dan perajin batik dan karya batik yang tumbuh dan berkembang seiring kemajuan zaman. Untuk menghadirkan profil kita kali ini secara utuh adalah tidak mungkin, kesempatan penulis ketemu dengan beliau di studio-nya Sentikan Kalasan tidak akan dapat menggambarkan ujud utuh sosok H.Harjiman sang pelukis yang sarat dengan dedikasi, profesi, prestasi dan idealismenya yang sangat tinggi. Sehingga dalam kesempatan penuturan kali ini, penulis hanya ingin mengurai sisi obsesi Harjiman yang ingin mewujudkan simbiosis mutualisma antara museum Harjiman dengan lingkungannya di Sentikan. Dalam menghadirkan profil Harjiman, selain dari hasil omong-omong langsung, penulis melengkapi bahan tulisan ini dengan literatur : Proses Kreatif H.Harjiman oleh Sri Harjanto Sahid, serta dari Seni Lukis H.Harjiman, Kontemplasi dan Ritus oleh M.Agus Burhan. H. HARJIMAN lahir 21 Februari 1954 di Taman Sari, Kecamatan Kraton Yogyakarta adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, dari simbok Sudjiah dan Bapak Harjoutomo (Setu). Sejak SD hingga kuliah di STSRI ASRI, Harjiman membagi waktu dengan berjualan es dorong. SMP nya diselesaiakan di Taman Dewasa Pedotan, Jajak, Banyuwangi, kemudian Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Harjiman merupakan salah seorang diantara beberapa Seniman Seni Rupa yang produktif. Baginya berkesenian adalah sudah menjadi tekad dan menyatu dalam hidupnya. Buktinya bahwa karena kesungguhannya dalam menggeluti dunia seni lukis berbagai persoalan kehidupan yang bersifat lahiriah maupun batiniah melalui kontemplasinya terhadap hal ini tetap mampu memacu kreatifitasnya, yang tercermin nyata dalam karya-karyanya. Banyak seniman menganggap bahwa melukis haruslah total, menjadi aktivitas tunggal. Diantara kerumitan pilihan sikap itu, Harjiman (49) melukis dengan lapar, demikianpun dalam menggalang Paguyuban Senirupawan Taman Sari, atau secara sporadis terlibat dalam kegiatan seni lainnya. Masih belum cukup dengan itu semua, Ia juga sangat obsesif ingin membangun museum pribadi di dekat studionya di Sentikan Kalasan. Harjiman termasuk seniman yang percaya bahwa menggulirkan wacana seni lukis tidak mesti hanya lewat kanvas. Lukisan sebagai artifak, lewat kerja seni yang intens juga telah membekukan fakta-fakta dari dimensi sosial maupun mental dan kejiwaan. Dengan kata lain melukis bukanlah hanya berhenti menciptakan benda-benda, namun lebih jauh lagi untuk menggulirkan pemikiran dan makna-makna. Dengan demikian pengguliran wacana itu juga bisa dilakukan pelukis lewat komponen-komponen bantunya. Dalam kontek demikianlah Harjiman bisa didekati secara integratif dalam semua aktifitas maupun persoalan-persoalan hidup yang melingkupi keseniannya. Tumbuh dari keluarga sederhana di Kampung Taman Sari, Ia ikut membatik seperti kebanyakan tetangganya. Kehidupan yang keras diisi juga dengan membantu ayahnya berjualan es. Beruntung kesadaran pribadi terus membimbingnya untuk melakukan mobilitas vertikal lewat pendidikan, sehingga dapat melampaui Taman Sari. Dalam pergulatan itu ada juga dorongan yang kuat untuk melakukan perubahan lingkungan. Sebagai agen perubahan (agent of change) Ia membangun Paguyuban Taman Sari yang mendorong para perajin batik meningkat menjadi Pelukis-pelukis. Harjiman memang tumbuh dengan ketrampilan sosial yang cair. Disamping itu sebagai pelukis dari kehidupan rakyat dan kekayaan kultural Yogyakarta, Ia mempunyai ekspresi dengan simbol-simbol komunikatif sesuai konvensi dan nafas masyarakatnya Taman Sari. Harjiman sebagai profesional integratif yang masih terus berekplorasi, dalam perjalanan seni lukisnya pernah mengalami disharmoni keluarga, konflik-konflik, sampai perpecahan. Uniknya dia bisa mentransendir ketegangan-ketegangan itu lewat perjalanan pencarian kedaerah-daerah pelosok sampai ke tanah suci Mekkah Al Mukaromah. Tahun 1970 Harjiman ikut mendirikan sanggar Kalpika di Kampung Taman sari, cita-citanya untuk mengangkat derajat kehidupan sanak- suadara dan komunitas seni kerajinan batik agar lebih bisa menghidupi baik lahir maupun batin ternyata terpaksa mentok karena berbagai hal, seperti adanya status magersari yang dirasa sangat membelenggu kreatifitas seniman yang ingin berkembang baik fisik maupun obsesinya. Selama berkecimpung dalam dunia batik-membatik yang notabene bisnis home industri, Harjiman berusaha untuk dapat membina paguyuban senirupa Taman Sari, termasuk juga aktifitas pembuatan batik sebagai beaya studi di STSRI ASRI .yang pada tahun 1984 dapat diselesaikannya. Namun ada sesuatau yang sangat mendesak dan selalu bergejolak untuk dapat direalisir oleh sosok Harjiman, yaitu adanya sebuah Museum Harjiman, yang menurutnya ditak mungkin untuk didirikan di Taman Sari atau di Suryodiningratan dimana Ia pernah tinggal selama 4 tahun. Untuk itu Harjiman mulai menggagas realisasi Museum tersebut di luar Kota, Ia mendapatkan lokasi yang sangat tepat menurut perhitungannya yaitu di Sentikan - Karangnongko - Tirto Martani - Kalasan. Di tempat ini yang diyakini sebagai tempat yang erat kaitannya dengan kehidupan berkesenian yang sangat membutuhkan adanya kondisi simbiosis mutualistis dengan lingkungannya. Menurut Harjiman, kondidi Sentikan tidak jauh berbeda dengan Taman sari dengan berbagai potensinya, di Sentikan ini ada Sifat masyarakat yang namanya gotong royong anatar sesama, ada semangat untuk maju dengan membuka diri dari pergaulan, juga ada semangat untuk menerima pembaharuan. Maka dengan kondisi yang demikian itu, Harjiman tidak kecewa dengan pilihan yang telah diambil untuk mewujudkan obsesinya mendirikan museum Harjiman yang sudah sekian lama ingin segera hadir. Kehadiran musseum-nya nanti harus dapat digunakan untuk kepentingan banyak pelaku budaya lainnya seperti, Penelitian sejarah seni rupa, workshop atau kegiatan lain. Bahkan jika mungkin sebagai rangsangan untuk menumbuh kembangkan pengertian kepada para pelukis muda berbakat lainnya untuk mempunyai kegairahan menyimpan karya seninya yang adi luhung, tidak hanya dijual kepada kolektor seni saja. Mengingat sekarang ini dalam lingkungan kehidupan kalangan menengah ke atas sudah muncul adanya lukisan berbobot sebagai salah satu simbol kemapanan seseorang, hal ini timbul karena adanya kemajuan ber apresiasi di dalam kesenian khususnya seni rupa. Ditempatnya yang baru ini dirasa sangat menarik untuk membangun kontribusi budaya dalam kehidupan jangka panjang, dan setelah mengalami adabtasi dengan lingkunan fisik maupun sosial, timbul pemikiran yang dilatar belakangi setting Taman Sari yang sangat mungkin untuk bisa diterapkan di Sentikan Kalasan ini. Bermodalkan sebagai seniman yang konsisten dengan kesenimanannya maka Harjiman bertekad untuk merealisir terwujudnya musem Harjiman disitu. Yang mendesak untuk digarap adalah, adanya komponen penyangga yang berupa respon posisti dari masyarakat lingkungannya, sehingga mampu mendukung semakin cerahnya aura Jogja sebagai pusat budaya. Dengan banyaknya museum yang dimiliki oleh para seniman diharapkan dapat memberikan dampak mengalirnya kunjungan wisatawan baik manca negara maupun Nusantara ke Jogja tercinta ini. Dengan tumbuhnya kreatifitas yang dahsyat ini diharapkan berdampak pada perekonomian, pendidikan, pariwisata dan sebagainya yang mampu membangkitkan gairah perekonomian rakyat kecil sebagai pelaku budaya. Berawal pada tahun 1994 Harjiman membeli tanah seluas 2000 meter persegi sebagai calon lokasi museum yang terletak didepan studionya. Di Sentikan diharapkan dalam delapan tahun mendatang sudah bangkit adanya kawasan Desa Budaya yang di dukung oleh pelaku budaya dari para warganya yang berkiprah pada pertanian, perikanan, sanggar seni lukis anak, TPA, batik, keramik/kriya, seniman kereta dan sebagainya. Pada tahun 2000 yang lalu telah berhasil dilaksakan peletakan batu pertama oleh Bapak Damarjati Supajar, yang diiringi prosesi seni dari kawan-kawan seniman Jogja yang menghadirkan kreatifitas seni adi luhung yang menyatu dengan masyarakat Sentikan. Setiap mengadakan pameran sebagai kewajiban seorang pelukis untuk memberikan laporan hasil karya yang telah memenuhi studio kepada khalayak ramai, Harjiman juga ingin membeberkan tentang kemajuan proses kreatif kontribusi budaya berupa pembangunan museum, yang pada tahun 2003 ini sudah bisa membuat dak dan lainnya. Karena prosesnya yang makan waktu lama, maka akan membawa konsekuensi bagi lingkungan sekitar bagaimana masyarakat merespon adanya sebuah museum, untuk itu Harjiman mengambil inisiatif memberikan motifasi agar dalam pergumulannya nanti akan terjalin penyadaran diri dan tumbuhnya simbiose mutualisma diantara museum dan Harjiman si pelukis sebagai isi dan masyarakat sebagai wadahnya. Sehingga harus ditekankan adanya potensi warga yang bisa dikembangkan untuk memajukan taraf kehidupan warga, contohnya posisi Desa yang layak sebagai Desa Budaya, mengingat letaknya yang strategis dalam segi tiga Candi yaitu, sebelah timur Candi Prambanan, utara Candi Kidulan dan selatan Candi Sari dan Kalasan, yang masing-masing hanya berjarak 1 Km saja. Yang menarik dalam radius segitiga candi ini adalah, bahwa pada waktu terjadinya candi dahulu kala, di Sentikan ini telah berkembang kebudayaan yang tinggi, ini terbukti dengan masih sering terdapatnya peninggalan relief candi yang sering diketemukan di wilayah Sentikan. Sebagai pelukis yang peduli dengan lingkungan, Harjiman ingin bersama-sama dengan warga untuk membangun kawasan Desa budaya untuk menghidupkan potensi alam dan SDM warganya maju seiring kemajuan zaman. Yang mendesak untuk digarap adalah potensi perikanan mengingat letaknya yang di bentaran sungai, lahan yang menjadi tanah bengkok perangkat Desa ini oleh Harjiman di sewa untuk dibuat kolam yang dikelola oleh warga, sementara ini ada yang sudah ditebari ikan sebanyak 15 ribu ekor dan diharapkan bisa panen nantinya untuk kesejahteraan warga, sedang lahan lain yang masih membutuhkan penanganan akan dijadikan pilot projek sebagai kontribusi kepada warganya. Kontek Desa budaya ini draf-nya sudah sampai kepada tingkat Desa Tirto Martani yang akan dijadikan program Pemerintah Desa. Meski demikian masih perlu diadakan pemanduan dan minitoring dari pihak penggagas yaitu Harjiman itu sendiri untuk menjaga agar draf tersebut tidak melenceng dari tujuan dan jadwal yang di gariskan. Untuk itu telah diadakan koordinasi-koordinasi pada tingkat Desa dan Dusun guna melampaui tahapan-tahapan realisasinya. Kiranya kehadiran profil kita kali ini dapat memotifasi diri kita sendiri paling tidak, untuk dapat menggugah kepekaan terhadap potensi diri sendiri yang sangat mungkin untuk mengguiding potensi lingkungan dapat tumbuh dan berkembang lebih baik lagi, ini bukan hal yang istimewa, tetapi sangat mungkin untuk terjadi, semoga. (KHI/Pier)