EYANG OESODO SAKSI PEJUANG YANG MASIH TERSISA
OESODO. Entah nama yang singkat ini pernah anda temukan di dalam buku-buku sejarah atau tidak, namun Eyang yang masih segar di usia 84 tahun ini, pernah memberikan hal yang terbaik bagi tegaknya bumi pertiwi ini. Perjalanan sejarah perebutan kembali Jogjakarta kepangkuan republik, tidak terlepas dari cucuran darah dan keringat Eyang Oesodo. Kurang lebih pukul 19.30 wib, Jogja.go.id bertandang rumahnya, di daerah Taman KT.I / 315 Kraton Yogyakarta. Seperti biasa, Eyang Sodo, - begitu dia biasa disapa- sedang asyik menonton TV di ruang tamu dengan hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih dipadu celana pendek biru mudah. Mendengar kedatangan Jogja.go.id, Eyang Sodo bergegas membukakan pintu. Dengan senyuman yang sumringah, Eyang Sodo mempersilakan Jogja.go.id masuk dan duduk. Dibuka dengan sedikit berbasa basi obrolan seriuspun dimulai. Bermula dari rasa prihatin yang mendalam akan kehidupan masyarakat di jaman pendudukan Jepang, Eyang Sodo yang waktu itu bekerja sebagai pegawai negeri di Pengadilan ingin memperjuangkan nasib sesamanya. Keluar dari kemelaratan dan ketertindasan. Sebagai seorang pemuda yang nasionalis Sodo muda membagi waktu untuk mewujudkan perjuangannya. Tiga jam Eyang Sodo abdikan diri di Pengadilan sedangkan sebagian waktunya yang lain ia gunakan untuk berjuang melawan penjajah di organisasi pemuda. Merasa perjuangannya belum total, Eyang Sodo memutuskan untuk bergabung di ketentaraan. Eyang Sodo lantas mengikuti pendidikan di Cilacap. Di Cilacap, Eyang yang sangat menyukai senjata berat (artileri) ini seakan menemukan impiannya. Meriam kaliber 12,55 cm dan 15 cm atau dikenal dengan meriam pantai menanti sentuhan Oesodo. Setelah menyelesaikan pendidikannya tahun 1947 Eyang Sodo kemudian dikirim ke Jawa Barat dan juga di Jawa Tengah. Meskipun demikian Eyang Sodo merasa perjuangannya masih belum maksimal. Bulan Desember 1948, Jogjakarta diduduki Belanda. Semua induk pasukan seperti Magelang sudah diduduki Belanda. Untuk kembali ke induknya di Magelang, Oesodo merasa kesulitan. Menghadapi situasi yang demikian Oesodo tidak putus asa. Tidak di Artileri Infantri pun jadi. Oesodo kemudian bergabung dengan pasukan infantri. Sesaat, keberadaan Oesodo di Infantri diketahui Komandan Batalyon. Oesodo ditarik kembali ke artileri dan diberi senjata 2 cm. Dengan senjata serta peluru yang terbatas dan dibantu 15 orang anak buahnya Eyang Oesodo menyerbu markas pos terdepan Belanda yang berada di Bantul ( Sekarang: tangsi polisi Bantul ). Mengingat terbatasnya persenjataan dan kekuatiran akan jatuhnya banyak korban warga sipil Eyang Eyang Sodo dan teman-temannya mengatur strategi dengan melakukan penyerangan di malam hari. Strategi ini ternyata cukup ampuh. Banyak prajurit Belanda berguguran. Penyerangan Eyang Sodo dan kawan-kawannya diperluas sampai ke markas besar dan pusat kekuatan yang berada di pabrik Padokan Madukismo. Markas ini biasa memasok pasukan ke pos - pos. Bersenjatakan 2 cm dan 12,7 cm, Eyang Oesodo dan kawan-kawannya menggempur markas. Hasilnya luar biasa. Menurut laporan dr. Piculli, Kepala Rumah Sakit Bethesda, sebanyak 70 jenazah prajurit Belanda yang dimasukan ke kamar jenasah akibat gempuran Eyang Sodo dan kawan-kawannya. Bukan hanya itu, penghadangan konvoi Belanda dibawa pimpinan Kolonel Van Langen menuju Pos terdepan Bantul juga dilakukan Eyang Sodo dan kawan-kawannya. Sekitar tujuh-puluhan serdadu Belanda beserta kendaraan mengalami nasib naas. Hancur diberondong peluru Eyang Sodo dan kawan-kawannya. Setelah melakukan penghadangan Eyang Sodo memerintahkan pasukannya untuk kembali ke tempatnya. Sedangkan Eyang Sodo tetap berada di tempat itu, ditengah hamparan sawah sambil memperhatikan bantuan serdadu Belanda yang mengangkut jenazah dan menarik kendaraan yang rusak. Setelah menyaksikan segala yang terjadi di malam itu dan situasipun dianggap sudah aman , Eyang Sodo menyeberangi jalan besar lalu menyeberangi lagi kali Bedog yang waktu itu dalamnya air sebatas dada orang dewasa. Tak disangka di tepi barat sungai Bedog tersebut berdiri Pak Harto (Soeharto Mantan Presiden RI) berpakaian seperti rakyat biasa, meneteng pancing di tangan, bersarung dan bertopi caping. Pak Harto menanyakan apa sedang terjadi dan Eyang Sodo menceritakan kejadian yang baru saja mereka lakukan yakni mencegat dan menghancurkan konvoi Belanda yang akan dikirim ke Pos Bantul. Selesai menceritakan Eyang Sodo lalu diajak Pak Harto ke Markasnya yang berada didaerah Kasihan, sebelah barat pabrik gula Madukismo. Sesampainya disana Eyang Sodo diajak makan bersama dengan Mantan orang nomor satu di republik ini. Eyang Sodo mengaku baru pada kesempatan itulah dia merasakan makananyang begitu enak. Walaupun cuma nasi putih dicampur jangan besengak, berlauk tempe dan telur namun ruasanya nuikmat sekali, ujar Eyang Sodo penuh ekspresi. Pasukan yang dimotori Eyang Akhirnya memasuki Kota Yogyakarta. Melihat perjuangan Eyang yang demikian gagah dan berani banyak orang menganggap Eyang Sodo sebagai seorang pahlawan. Tapi pahlawan di dalam bathin, ungkap Eyang sambil tersenyum. Perjuangan Eyang Sodo terus menerus dikobarkan sampai purna tugas di ketentaraan tahun 1967. Eyang Sodo mengakhiri tugasnya di tentaraan dengan pangkat terakhir sebagai seorang Letnan Kolonel. Mengingat ksatrianya perjuangan Eyang Sodo dan prestasi yang dibuat sewaktu di pendidikan perwira yang menjadi orang terbaik ke-6 dari 30 orang, seharusnya Eyang Sodo patut mendapatkan pangkat yang lebih dari sekedar Letnan Kolonel. Namun apa hendak dikata. Lantaran di suatu kesempatan apel artileri di Jakarta Eyang Sodo yang fanatik membela bangsa ini melihat salah seorang tentara Indonesia yang waktu perang dulu menjadi mata-mata dan antek penjajah, hadir di situ dan Eyang hampir saja membunuhnya, Eyang Sodo dicap kurang baik oleh kesatuannya. Dan akibatnya kenaikan pangkat Eyangpun diperlambat. Padahal yang menolong nama baik Artileri adalah saya. Jawa Timur, Jawa Barat, Magelang Jawa Tengah Artileri sudah taidak ada� sudah mati. Di wilayah-wilayah itu Artileri sudah mati semenjak Belanda masuk. Yang masih hidup hanyalah Artileri yang ada di Jogja Selatan, ungkap Eyang penuh dengan senyum kecewa. Mungkin� kalau di luar negeri perjuangan seperti itu, dianggap seharusnya mendapat bintang kehormatan�, sambung Eyang dengan tertawa lepas. Namun Eyang yang berputra tiga dan bercucu empat ini harus berlapang dada untuk menerima kenyataan hidup, yang bisa saja tidak seperti yang diharapkan. Lalu apa komentar Eyang Sodo dengan generasi sekarang ini ? Saya sebetulnya kecewa dengan generasi sekarang ini, ungkap Eyang Sodo. Menurut Eyang generasi sekarang banyak sekali yang hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau memikirkan orang lain. Banyak uang negara yang dipakai untuk kepentingan diri, dan banyak orang tidak jujur dan ini berakibat hancurnya bangsa ini. Banyak pemuda sekarang yang jatuh ke lembah hitam, drom-droman , mabuk, minum, sabu-sabu, menyalahgunakan narkoba dan lain-lain. Mereka mengira, dengan minum, sabu-sabu, narkoba itu mereka sudah hebat� Itu tidak cocok, nasehat Eyang. Untuk itu pemuda harus bangkit. Lihatlah para pejuang dulu. Mereka berjuang tanpa pamri. Tidak punya uang, tidak punya makanan mereka tetap berjuang. Berjuang demi bangsa dan negara sampai titik darah penghabisan dan bila perlu dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan. Sebagai generasi muda Eyang berpesan agar mengisi kemerdekaan ini dengan kerja keras, jauhi minuman keras, narkoba dan lain-lain yang membahayakan. Mereka yang diberi kesempatan untuk bersekolah, bersekolahlah setinggi mungkin sampai kemana otaknya bisa mencapainya. Lalu curahkan dan bagilah kepandaiannya untuk mendidik adik-adiknya sehingga dalam waktu singkat kita juga ( Bangsa Indonesia ) dapat menciptakan banyak intelektual yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara dan bukan kepentingan diri sendiri. Dan ingat .. harus jujur dan tanggung jawab. Pesan Eyang menutup obrolan kami.(@mix/khi)