Memaknai kebudayaan sebagai basis pariwisata, saatnya kita harus mengubah
pemahaman, yaitu pariwisata bukanlah ‘predator’ pemangsa kebudayaan, namun
menempatkan Pariwisata menjadi fasilitator dan agen kebudayaan. Peran dan
fungsi fasilitator/agen kebudayaan adalah mengangkat eksistensi budaya ke
tingkat yang tinggi dengan cara mengeksplorasi nilai-nilai budaya, dan
bukan mengeksploitasi (memperalat atau memeras) budaya. Dengan demikian,
industri pariwisata tidak lagi meletakkan budaya sebagai sub-ordinasi,
melainkan sebagai orientasi nilai bagi seluruh dinamika dalam dirinya.
Semestinya kita memuliakan budaya, yang dalam praktiknya misalnya tidak
akan terjadi lagi ‘pemerkosaan’ tarian klasik yang berdurasi satu setengah
jam menjadi 15 menit.
Hal itu terungkap dalam diskusi budaya dalam rangka kampanye sadar budaya
yang bertajuk “Pariwisata Berbasis Budaya” di Hotel Brongto, Sabtu (1/3).
Diskusi yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota
Yogyakarta ini mengangkat tema sesuai dengan tematik pembangunan Kota
Yogyakarta tahun 2008 yang telah dicanangkan melalui kegiatan kirab
budaya 5 Januari lalu, yaitu Pariwisata Berbasis Budaya. Bertindak
sebagai keynote speaker dalam diskusi tersebut Kepala Dinas Pariwisata,
Seni dan Budaya, Hadi Muhtar,SE,MM. Dengan moderator Ir.Revianto,M.Arch
diskusi ini menghadirkan panelis Ketua PWI DIY Drs Octo Lampito,
Budayawan Indra Tranggono, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta
H.Charris Zubair,MA, Ketua BP2KY Ferry Astono, dan Tri Hartono,M.Hum dari
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala DIY. Peserta diskusi dari tokoh
masyarakat, generasi muda dan budayawan di Kota Yogyakarta.
Dikatakan oleh Hadi Muhtar, Kita menyadari bahwa pariwisata adalah
lokomotif perekonomian di kota Yogyakarta. Pariwisata terbukti memberi
manfaat bagi semua aspek. Karena bencana gempa 2006 dunia pariwisata
Yogyakarta sempat lesu. Yogyakarta tidak punya alam yang luas. Dengan
seluas hanya 32,5 km2 tidak ada keindahan alam yang bisa dijual untuk
pariwisata. Menyadari hal itu pengembangan pariwisata disesuaikan dengan
budaya yang ada di Kota Yogyakarta, antara lain peninggalan budaya dan
kesenian tradisonal yang bisa menjadi daya tarik wisata. Mewujudkan kota
pariwisata yang berbasis budaya.dengan dukungan keanekaragaman obyek,
atraksi dan daya tarik wisata, dilakukan dengan meningkatkan kualitas
daya tarik wisata. Mulai bulan April setiap Sabtu dan Minggu akan
diadakan panggung kesenian terbuka di beberapa titik strategis Kota
Yogyakarta dengan menampilkan kelompok-kelompok kesenian yang potensial.
Dalam diskusi itu terungkap juga bahwa Promosi Pariwisata tak mungkin
terlepas dari media, baik melalui iklan, atau tulisan lepas berupa
feature, straight news, artikel dsb. Salah satu daya tarik wisata, selain
menjual obyeknya juga harus memberi informasi yang benar. Untuk itu perlu
penyeragaman penyebutan kota Jogja atau Yogya. Karena dalam promosi
pariwisata yang dilakukan melalui internet perbedaan penulisan kata akan
mempunyai pengaruh yang besar. Selain itu dalam promosi pariwisata
melalui internet seringkali belum diisi tentang even budaya secara
lengkap dan jarang di up date. Hal ini patut disayangkan karena saat ini
Yogyakarta masih menjadi tujuan wisata ke-2 setelah Bali.