MUDJI PENYAPU TELADAN
Ketika sebagian orang masih dibuai mimpi , sosok pria kecil ini telah bersiap-siap untuk melaksanakan tugas mulianya. Setelah melakukan sholat Subuh, dia segera menyiapkan pakaian kerjanya. Seusai menghirup segelas teh, tanpa disertai dengan makanan kecil, yang telah disiapkan istrinya, dia bergegas berangkat kerja. Ditemani sepeda bututnya dia menyusuri jalan Wates menuju kawasan Malioboro. Dingin menusuk tulang tidak dihiraukan untuk mewujudkan sebuah taggung jawab. Kayuhan sepeda yang pelan tapi pasti membakar semangat melawan dingin. Waktu itu menunjukkan pukul 04.00 WIB, selang setengah jam kemudian, pria paro baya ini absen terlebih dahulu di pos dibilangan Kecamatan Gedong Tengen. Tepat pukul 04.30 dia telah siap melakukan aktifitasnya.
Pria umur 53 tahun kebanggaan Pemerintah Kota Yogyakarta ini adalah Mudji, penyapu teladan selama tiga tahun terakhir. Bapak yang tinggal di Ngguyangan Nogo Tirto Gamping Sleman ini memulai karirnya sebagai pasukan kuning mulai tahun 1979, mengabdi di Pemerintah Kota Yogyakarta sudah selama 29 tahun. “ Rasanya bangga dan puas dapat menjaga kebersihan
Menurut suami Sulastri ini, selama sehari dia melakukan pekerjaannya selama dua tahap, yakni pagi dan sore.
Tugas Mudji ternyata tidak hanya sebagai tukang sapu saja, akan tetapi juga membersihkan sampah yang ada di gang-gang, menaikan sampah kegerobag, kemudian mengumpulkan sampah ketempat sampah yang telah ditentukan. Tanggung jawab Mudji dari seputaran hotel Garuda sampai dengan jembatan Kleringan, dilakukan seorang diri, dari menyapu, mengumpulkan, memungut sampah sampai dengan mendorong gerobag.
Banyak suka dukanya sebagai tukang sapu, dukanya apabila hujan tidak kunjung reda, sukanya dapat melaksanakan tugas dengan sempurna. Banyak pengalaman yang dialami seorang Mudji, pernah suatu ketika menemukan sebuah barang berharga, sebut saja cincin, uang pecahan 50 ribu, namun pernah pula menemukan senjata tajam sebilah clurit. Hal ini membuat Mudji bingung harus dikemanakan benda-benda tersebut. “ Kalau uang saya anggap ini sebagai rejeki yang diberikan Tuhan kepada saya, namun senjata tajam yang pernah saya dapatkan saya simpan baik-baik. Kejadian yang mendapatkan senjata tajam itu kapan saya sudah lupa. Kalau pecahan uang sering sekali, tapi tidak setiap bulan saya mendapatkan. Saya tidak mengharapkan nemu uang, karena saya bingung, harus saya kemanakan uang itu, kalau saya pakai bukan hak saya, tetapi hal itu saya anggap rejeki yang diberikanNya,” kata pria kelahiran 10 Juli 1955.
Perlengkapan yang diberikan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mendukung pekerjaanya memang cukup memadai, diantaranya , Baju Kuning, Kaos, Kaos tangan, sepatu serta jas hujan. Menurut Mudji, hendaknya perlengkapan yang mudah rusak masa pergantianya jangan satu tahun sekali, seperti kaos, kaos tangan serta jas hujan. “ Saya berharap kepada Dinas untuk masalah perlengkapan diperhatikan, utamanya yang mudah rusak, kaos umpamanya, kalau setiap hari dipakai kena panas
Namun semuanya yang diberikan Pemerintah Kota Yogyakarta menurut Mudji sudah cukup termasuk gaji yang diterimanya. Dalam benak Mudji menginginkan diangkat menjadi seorang pegawai, namun terkendala usia. Banyak rekan-rekan sejawat ynag bernasib sama, namun terbentur dengan peraturan yang berlaku. “ Saya sangat berharap diangkat menjadi pegawi, mengingat saya mengabdi sudah hampir 30 tahun. Saya masih ingat dulu pada waktu pertama kali menerima gaji sebesar Rp. 4500,00 tetapi karena peraturan berbicara lain saya hanya pasrah, selama 30 tahun itu juga mengantar saya sebangai tukang sapu teladan, hal ini tidak banyak merubah hidup saya, hanya saya berbangga dapat dikenal bapak-bapak pimpinan. Saya masih ingat betul ketika naik panggung dan diumumkan sebagai penyapu berprestasi, saya dapat bertemu langsung Bapak Herry Zudianto Walikota Yogyakarta. Saya merasa haru, awite saya sebagai tukang sapu kok dapat bersalaman dengan Pak Herry, bahkan beliau menepuk-nepuk pundak saya sambil ngendiko” Maturnuwun”, bukan kah saya yang harus Maturnuwun?. Saya jadi lebih semangat bekerja sekalipun nasib saya begini, dengan yang dikatakan Pak Herry, yakni Nek Walikotane ora ngantor sesasi pemerintahan jalan terus, nanging nek sing ora mlebu tukang sapu sedino wae, arep koyo ngopo wajahe Kutho Ngayogya, ini memang ternyata tukang sapu mempunyai peranan yang penting juga,” terang pria yang menikah 22 September 1984 ini.
Harapan Mudji memang tidak muluk-muluk, akan tetapi prestasinya tidak semua orang dapat menjalankan, wajar saja harapan itu, karena 30 tahun pengabdian tidaklah sebentar. Masih banyak Mudji-Mudji lainnya, dan tentunya senasib . Namun motto hidup Mudji dapat mengobati harapan yang pernah tersirat, Nrimo ing Pandum, sebagai senjata pamungkas sekaligus menghibur diri. Apa yang diberikan Pemerintah Kota Yogyakarta kepada Mudji sudah lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan kedua anaknya, namun Mudji masih mempunyai keyakinan kendala itu pasti dapat disiasati. Semoga (And)