Pemerintahan Jelek Apabila Korupsi Dilakukan Secara Sistemik
Pemberantasan korupsi itu susah dilakukan tetapi bisa, tergantung niat dan motivasi kita. Berdasarkan survey indeks persepsi korupsi, hasil penilaian Transparency International (TI) Indonesia tahun 2008, Jogja termasuk lima besar dengan nilai 6,43. “Perlu dicatat kita memberantas korupsi adalah memberantas korupsi yang sistemik. Kalau ada satu atau dua individu korupsi belum bisa dikatakan pemerintahan jelek. Pemerintahan dikatakan jelek apabila korupsi dilakukan secara sistemik atau berjamaah, artinya mereka semua tahu tapi mendiamkan”. Demikian Walikota Yogyakarta Herry Zudianto sebagai nara sumber dalam Rakor Pemberantasan Korupsi Atas Pelaksanaan Inpres Nomor 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, berlangsung di Hotel Grand Mercure, Surabaya, Kamis (5/11).
Sebelumnya Herry menjelaskan tentang pemahaman pemerintahan, dulu pemerintah adalah identik dengan raja, dan raja merupakan penguasa identik dengan negara, dan rakyat memberi upeti kepada penguasa tanpa ada ikatan hak dan kewajiban. Paradigma sekarang bahwa pemerintah adalah pelayan, rakyat mengabdi kepada negara, pemerintah mengabdi kepada rakyat. Pada era otonomi daerah, paradigma ini harus benar-benar menjadi mindset atau goodwill kepala daerah. Bahwa pemerintah adalah pelayan masyarakat. “Sebagai kepala daerah saya tidak memposisikan sebagai walikota tapi sebagai kepala pelayan masyarakat kota Yogyakarta”, tuturnya. Sehingga di Pemkot Yogyakarta Herry Zudianto mempunyai motto “Masyarakat Dahulukan Pencapaian Utamakan Untuk Indonesia”
Lebih jauh dijelaskan, sistem ketatanegaraan kita saat ini menuntut pemerintah harus lebih menghargai rakyat. Proses reformasi menghendaki pemerintahan yang transparan, responsif dan akuntabel, yang dapat dikritisi, mau diberi masukan dan dapat pula berbuat salah. Mau tak mau pemerintah harus mengikuti gerakan ini, dengan dua opsi yaitu harus dipaksa dari luar atau merubah diri dari dalam. “Dari situ saya memutuskan untuk secara internal harus mulai berubah, tidak harus menunggu dipaksa dari luar”, tambah Pak Herry.
Dikatakan, saya membuka saluran komunikasi yang seluas-luasnya, karena pintu masuk kepercayaan dimulai dari komunikasi. Seperti UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan), dimana masyarakat bisa menyampaikan keluhannya melalui telepon, sms, email maupun datang langsung. Melalui radio saya buka komunikasi Walikota Menyapa, disini masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan bertanya jawab secara langsung. Juga kunjungan ke wilayah-wilayah secara rutin, dimana saya bisa bertatap muka langsung dengan mereka sehingga saya merasa lebih dekat. “Tanpa transparansi orang tidak akan berani buka suara. Dengan komunikasi yang baik, pelayanan publik tentu akan lebih transparan dan akuntabel karena kinerjanya akan dipantau dengan mudah oleh masyarakat”, kata Pak Herry.
Sejak tahun 2006 Kota Yogyakarta memiliki Dinas Perijinan untuk menyatukan berbagai kewenangan perijinan, memperpendek jalur, persyaratan perijinan yang dobel disederhanakan, rekomendasi juga dibatasi waktu. Sehingga ada kepastian aturan yang tercermin di Dinas Perijinan. “Kalau aparat pemerintah sudah tidak neko-neko, tolong masyarakat juga tidak membujuk petugas. Jika pemerintah sudah benar, masyarakat jangan justru mengajak salah. Mari kita bersama bangun Jogja untuk Indonesia” ajak Pak Herry.
Sebelumnya Herry menjelaskan tentang pemahaman pemerintahan, dulu pemerintah adalah identik dengan raja, dan raja merupakan penguasa identik dengan negara, dan rakyat memberi upeti kepada penguasa tanpa ada ikatan hak dan kewajiban. Paradigma sekarang bahwa pemerintah adalah pelayan, rakyat mengabdi kepada negara, pemerintah mengabdi kepada rakyat. Pada era otonomi daerah, paradigma ini harus benar-benar menjadi mindset atau goodwill kepala daerah. Bahwa pemerintah adalah pelayan masyarakat. “Sebagai kepala daerah saya tidak memposisikan sebagai walikota tapi sebagai kepala pelayan masyarakat kota Yogyakarta”, tuturnya. Sehingga di Pemkot Yogyakarta Herry Zudianto mempunyai motto “Masyarakat Dahulukan Pencapaian Utamakan Untuk Indonesia”
Lebih jauh dijelaskan, sistem ketatanegaraan kita saat ini menuntut pemerintah harus lebih menghargai rakyat. Proses reformasi menghendaki pemerintahan yang transparan, responsif dan akuntabel, yang dapat dikritisi, mau diberi masukan dan dapat pula berbuat salah. Mau tak mau pemerintah harus mengikuti gerakan ini, dengan dua opsi yaitu harus dipaksa dari luar atau merubah diri dari dalam. “Dari situ saya memutuskan untuk secara internal harus mulai berubah, tidak harus menunggu dipaksa dari luar”, tambah Pak Herry.
Dikatakan, saya membuka saluran komunikasi yang seluas-luasnya, karena pintu masuk kepercayaan dimulai dari komunikasi. Seperti UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan), dimana masyarakat bisa menyampaikan keluhannya melalui telepon, sms, email maupun datang langsung. Melalui radio saya buka komunikasi Walikota Menyapa, disini masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan bertanya jawab secara langsung. Juga kunjungan ke wilayah-wilayah secara rutin, dimana saya bisa bertatap muka langsung dengan mereka sehingga saya merasa lebih dekat. “Tanpa transparansi orang tidak akan berani buka suara. Dengan komunikasi yang baik, pelayanan publik tentu akan lebih transparan dan akuntabel karena kinerjanya akan dipantau dengan mudah oleh masyarakat”, kata Pak Herry.
Sejak tahun 2006 Kota Yogyakarta memiliki Dinas Perijinan untuk menyatukan berbagai kewenangan perijinan, memperpendek jalur, persyaratan perijinan yang dobel disederhanakan, rekomendasi juga dibatasi waktu. Sehingga ada kepastian aturan yang tercermin di Dinas Perijinan. “Kalau aparat pemerintah sudah tidak neko-neko, tolong masyarakat juga tidak membujuk petugas. Jika pemerintah sudah benar, masyarakat jangan justru mengajak salah. Mari kita bersama bangun Jogja untuk Indonesia” ajak Pak Herry.