MBAH SUYAT PIAWAI MENDALANG DAN MENJAMAS PUSAKA
Petikan tembang Lesung Jumengglung itu adalah bagian dari tembang yang dibawakan seorang dalang serba bisa. Tembang itu sempat mengumandang tatkala Walikota Yogyakarta Herry Zudianto kedapuk sebagai dalang pada pelantikan pengurus PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) Kota Yogyakarta di Rumah Dinas Walikota beberapa waktu lalu. Saat itu pula Pak Herry berkesempatan limbukan. Pagelaran wayang kulit ini menampilkan tiga dalang dan tiga kelir sekaligus. Salah satunya adalah Mbah Suyat yang piawai memainkan wayang golek dan wayang kulit.
Memulai kariernya sebagai dalang pada tahun 1975 dengan sekolah di Habiranda (Sekolah Pedalangan) pada saat itu di Pracimosono Kraton Ngayogyakarta. Pada tahun yang sama juga mulai mengabdi di Kraton dengan pangkat Jajar ditempatkan di Kawedanan Hageng Punokawan Krido Mardowo. ”Sebelum mengabdi di Kraton saya sudah sering sowan ke kraton ikut bapak, sebab bapak saya juga abdi dalem Pekathik (abdi dalam bagian cari rumput). Saya pertama mengabdi bagian ngisis (mengangin-anginkan) wayang. Mulai saat itu saya didawuhi sekolah di Habiranda, dan saat bersamaan mulai mengabdi di Pemerintah Kota Yogyakarta,” kata pemilik nama lengkap Sujatiman.
Mbah Suyat demikian Sujatiman biasa dipanggil, mulai mengabdi di Pemerintah Kota Yogyakarta tahun 1975 di Dinas Pekerjaan Umum. Setelah selama delapan tahun sebagai tenaga honorer, kemudian diangkat sebagai CPNS tahun 1983. Sujatiman ditugaskan dibagian asienering dan pengairan, hingga sekarang dipercaya mengurus drainase kota. Mbah Suyat juga setia ber-Sego Segawe sejak pertama mengabdi di Pemkot Yogyakarta hingga sekarang.
Selain piawai memainkan wayang kulit maupun wayang golek, Mbah Suyat juga pintar memandu berbagai upacara ritual adat jawa, diantaranya jamasan pusaka, termasuk pusaka milik pemkot Tombak Kyai Wijaya Mukti. Tombak hadiah dari Sri Sultan HB IX kepada pemkot ini dibuat tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan HB VIII. Senjata yang waktu itu biasa dipergunakan oleh prajurit Kraton tersebut mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan daphur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikukun, jenis kayu yang biasa digunakan gagang tombak dan teruji baik kekerasan maupun keliatannya.
”Tombak pusaka Kyai Wijoyo Mukti merupakan pusaka kebesaran Pemkot Yogyakarta. Pusaka tersebut disemayamkan di ruang kerja Walikota. Dengan keberadaan tombak pusaka di ruang kerja tersebut, mengisyaratkan adanya pesan-pesan luhur kepada pemimpin untuk selalu memakmurkan rakyatnya, sebagaimana diisyaratkan dalam pamor wos wutah wengkon dan daphur kudhuping gambir,” ujar pria yang mendapat nama pemberian kraton, Cermo Wicoro, berpangkat Wedono.
Mengabdi di pemkot selama 35 tahun sudahlah cukup. ”Saya tanggal 1 September 2010 nanti sudah purna tugas, waktu yang cukup panjang dalam mengabdi, namun dengan sisa tenaga yang ada, apabila nanti saya ditimbali untuk menjamas pusaka pemkot, akan saya lakukan dengan senang hati. Saya selalu siap untuk ngleluri budaya, agar anak cucu saya nanti tidak belajar ke negeri orang,” tuturnya. ”Saya sangat berbangga dengan para pemimpin sekarang, terutama bapak walikota, karena mau peduli dengan wayang, terbukti beliau mau limbukan, untuk menyampaikan pesan kepada warganya. Hal ini merupakan bukti dari pemerintah untuk ngleluri budaya adiluhung ini, kalau tidak kita siapa lagi,” katanya merendah.(and)