YOGYAKARTA KOTA BERKETAHANAN IKLIM
Beberapa permasalahan lingkungan akibat bertambahnya jumlah penduduk menimbulkan kerentanan terhadap perubahan iklim dan bencana. Selain itu kawasan padat penduduk, kawasan dengan kualitas lingkungan rendah, dan minimnya pendapatan keluarga menjadikan wilayah yang rentan. Di Kota Yogyakarta ada beberapa wilayah di daerah bantaran sungai yang merupakan wilayah rentan, yaitu Bumijo, Kricak, Ngampilan, Notoprajan, Pakuncen, Prawirodirjan, Prenggan, Pringgokusuman, Sosromenduran, Tegalpanggung dan Wirobrajan. Hal itu disampaikan Wakil Walikota Haryadi Suyuti dalam Seminar Nasional Antisipasi Global Climate Change dan Optimalisasi Sumber Daya local Dalam Pembangunan Daerah, di Gebung PIP2B Jl Kenari, Rabu (4/08).
Menurut Wawali, peta resiko bencana menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta beresiko tinggi terhadap angin rebut akibat kenaikan suhu udara. Beberapa daerah bantaran sungai Code dan Winongo juga beresiko tinggi terhadap banjir. Terhadap resiko penyakit menular dimungkinkan juga dapat timbul akibat perubahan musim.
Sebagai Kota Berketahanan iklim, Yogyakarta telah menjalin kerjasama dengan GTZ dan Bank Dunia. Kerjasama tersebut dijabarkan dalam pengembangan strategi lintas sector untuk mitigasi, adaptasi perubahan iklim, dukungan strategi ekonomi bernuansa rendah karbon, pengembangan konsep peningkatan efisiensi dan penggunaan energi, fasilitasi transfer teknologi dan inventarisasi GRK.
Staf Ahli Gubernur DIY bidang Pembangunan, Bayudono mengatakan, Kota Yogyakarta merupakan salah satu dari 4 Kota di Indonesia (Surabaya, Jakarta dan Medan) sebagai Kota Berketahanan Iklim. Namun di Yogyakarta mempunyai perbedaan yang spesifik dengan kota-kota lain tersebut. Di Yogyakarta ‘Kota Berketahanan Iklim’ merupakan sebuah gerakan yang dilakukan oleh masyarakat, berbeda dengan kota lain yang merupakan program dari pemerintah.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut, Ir. Eko Djuli Sasongko, Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementrian PU, Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.eng, Darmanto dari PSSL UGM, dan Ir. Bayudono, staf ahli Gubernur DIY Bidang Pembangunan serta Prof. Ir. H. Sarwidi, MSCE, Ph.D., PI-U advisor Badan Nasional Penanggulangan Bencana.(ism)
Menurut Wawali, peta resiko bencana menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta beresiko tinggi terhadap angin rebut akibat kenaikan suhu udara. Beberapa daerah bantaran sungai Code dan Winongo juga beresiko tinggi terhadap banjir. Terhadap resiko penyakit menular dimungkinkan juga dapat timbul akibat perubahan musim.
Sebagai Kota Berketahanan iklim, Yogyakarta telah menjalin kerjasama dengan GTZ dan Bank Dunia. Kerjasama tersebut dijabarkan dalam pengembangan strategi lintas sector untuk mitigasi, adaptasi perubahan iklim, dukungan strategi ekonomi bernuansa rendah karbon, pengembangan konsep peningkatan efisiensi dan penggunaan energi, fasilitasi transfer teknologi dan inventarisasi GRK.
Staf Ahli Gubernur DIY bidang Pembangunan, Bayudono mengatakan, Kota Yogyakarta merupakan salah satu dari 4 Kota di Indonesia (Surabaya, Jakarta dan Medan) sebagai Kota Berketahanan Iklim. Namun di Yogyakarta mempunyai perbedaan yang spesifik dengan kota-kota lain tersebut. Di Yogyakarta ‘Kota Berketahanan Iklim’ merupakan sebuah gerakan yang dilakukan oleh masyarakat, berbeda dengan kota lain yang merupakan program dari pemerintah.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut, Ir. Eko Djuli Sasongko, Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementrian PU, Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, M.eng, Darmanto dari PSSL UGM, dan Ir. Bayudono, staf ahli Gubernur DIY Bidang Pembangunan serta Prof. Ir. H. Sarwidi, MSCE, Ph.D., PI-U advisor Badan Nasional Penanggulangan Bencana.(ism)