DJONO KETUA RW TERTUA DI KOTA JOGJA
Pagi itu mentari belum juga menampakkan sinarnya meski telah dilihatnya berkali-kali. Pensiunan pegawai penerangan berpakaian rapi hendak ke kantor Koperasi Simpan Pinjam binaannya melaksanakan tugas keseharian. Rutinitas kerja pria berambut hampir putih ini, sambil sesekali melihat kebersihan lingkungannya, seraya melempar senyum sapa kepada warganya. Sebut saja beliau Djono Probo Sudiro. Pria kelahiran Yogyakarta, 27 Maret 1929 merupakan Ketua RW (Rukun Warga) II membawahi 3 RT Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, merupakan Ketua RW tertua di wilayah Kota Yogyakarta.
Djono Probo Sudiro yang akrab dipanggil Pak Djono ini semenjak menjabat Ketua RW belum pernah digantikan. Menurutnya bukan tidak ada yang menggantikan, namun kehendak warga yang telah merasakan ketlatenannya ngemong warga. ”Saya menjadi ketua RW sejak jaman Walikotanya Pak Djatmikanto, waktu itu menjadi ketua RK terakhir dan berubah RW. Saya ketua RW pertama sampai sekarang belum pernah tergantikan. Ketika masa jabatan ketua RW selesai kemudian diadakan pemilihan, sengaja saya tidak datang, namun keputusan rapat memilih saya kembali, karena ini amanah warga dan menghendaki saya sebagi ketua, dengan berjiwa besar saya sanggupi,” terang Pak Djono yang tinggal di Jalan Langennarjan Lor 25 Yogyakarta.
Kemantepan warga memilih Pak Djono berawal dari penutupan selokan sepanjang 450 m lebar 2 m serta kedalaman 2 m pada masa pemerintahan Walikota Djatmikanto yang menghabiskan dana kurang lebih 3,5 juta. ”Keinginan ini murni gagasan warga yang saat itu masih 8 RK, saya berusaha mencari dana murni swadaya, belum ada bantuan dari pemerintah seperti sekarang. Saya mendukung gagasan ini karena bila terjadi hujan lebat, warga saya kebanjiran, ini yang menggugah saya lebih semangat”, tutur Pak Djono.
Setelah selokan tertutup, rumah warga yang sedianya membelakangi selokan kini terbalik menghadap selokan dan menjadi jalan besar. Guna mengucap syukur untuk peresmian selokan, selain oleh Walikota Yogyakarta, saya ngaturi Gusti Pangeran Mangkubumi (sekarang HB X red). “Naliko semanten Gusti Mangkubumi kerso rawuh piyambak, malah wargo bingung, lajeng badhe pun lenggahaken pundi?, njih namung kulo gelaraken lampit lan pun caosi unjukan soho daharan pisang lan kacang godog, malah kadosipun dados kersane, raosipun mongkok wekdal semanten,” kenang pensiunan Deppen yang bertugas di Kabupaten Sleman.
Untuk mengisi kegiatan kesehariannya, suami almarhumah ibu Salimi, dari tahun 2003 selalu memantau lingkungan terutama pemberantasan sarang nyamuk. ”Kegiatan ini termasuk untuk mengisi Hari Jadi Kota Yogyakarta kemarin, sebab saya sadar bahwa kebersihan selain sebagian dari iman, kebersihan juga sangat penting bagi diri kita,” kata ayah dari Purwatmo yang tinggal di Jakarta.
Pengabdian yang selama ini dilakukan tanpa pengharapan dan jasa dari pemerintah, merupakan panggilan nurani untuk mengabdi. Penghargaan yang diberikan pemerintah untuk kelancaran dan kelengkapan diwilayah RW. ”Ada suara sumbang sampai pendengaran saya bahwa RT dan RW sekarang dapat gaji, saya menanggapi positif saja, sebab apa yang diberikan pemerintah, saya kembalikan lagi untuk kelancaran melayani warga masyarakat, bukan semata-mata untuk saya, dan itu bukan tujuan saya. Diparingi atau tidak saya tetap akan mengabdi dan tetap tidak akan luntur,” papar pria yang mengenyam pendidikan SMA ini.
Pria yang mengabdi di Departemen Penerangan dari tahun 1950 - 1985 ini, selama menjadi ketua RW tidak mengalami kendala yang berarti, baik dari warga maupun dari RW lain. Diceritakan, pada waktu digalakan siskamling ada salah satu warganya yang menanyakan dasar hukum tentang ronda. Sebab warga tersebut tidak mau ronda sehingga menjadikan iri warga lain. Dengan penuh rasa kekeluargaan Pak Djono memberi pengertian warga, bahwa ronda tidak memerlukan dasar hukum akan tetapi sarana untuk kerukunan dan keamanan lingkungan yang diciptakan oleh dan untuk kita.
Pria berusia 81 tahun ini hanya berharap siapapun pemimpin Kota Yogyakarta kelak hendaknya tetap melakukan hal seperti yang telah dilakukan para pendahulunya. ”Pemimpin seyogyanya sering turun ke wilayah agar mengetahui apa yang terjadi sebenarnya,” katanya.
Bagi Pak Djono, melayani warga merupakan pengabdian yang luar biasa karena selain panggilan jiwa juga dilakukan secara totalitas, tanpa pamrih, mengisi kemerdekaan serta meneladani para pendahulunya. Dalam hatinya terbersit harapan yang tidak muluk-muluk, semoga nanti ada anak muda yang menggantikan pengabdiannya tanpa memandang perbedaan yang ada. Semoga keinginan yang mulia itu tercapai kelak.(and /@mix)