Pemkot Ajak Warga Peduli dan Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan
Umbulharjo- Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2024, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta kembali menyelenggarakan seminar dengan tema "Media, Gender, dan Kekerasan: Membangun Jurnalisme yang Berkeadilan." Seminar ini berlangsung di Gedung TP PKK Kota Yogyakarta, Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Kamis (14/11). Pada acara seminar ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan media, kader masyarakat, serta lembaga layanan perempuan dan anak.
Ketua TP PKK Kota Yogyakarta, Sugiharti Mulya Handayani, menyoroti pentingnya peran perempuan di berbagai bidang, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan era informasi. Ia juga menekankan bagaimana opini publik mengenai perempuan dapat dibentuk melalui pemberitaan media, sehingga penting bagi jurnalis untuk menyajikan informasi yang adil dan tidak bias.
“Perempuan sering kali dianggap lemah, padahal mereka memiliki kontribusi besar dalam kehidupan. Namun, kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu yang serius hingga hari ini,” ujar Sugiharti.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta, Retnaningtyas, menyampaikan bahwa seminar hari ini mengajak rekan-rekan media untuk berdiskusi dan meningkatkan pemahaman tentang peliputan yang berkeadilan dalam menyebarkan pemahaman yang lebih baik tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kepala DP3AP2KB Kota Yogya, Retnaningtyas
Retnaningtyas memaparkan data dari Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Kota Yogyakarta yang menunjukkan adanya 248 kasus kekerasan pada tahun 2023, di mana 87 persen korbannya adalah perempuan, terutama dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia berharap kehadiran media dapat membantu masyarakat memahami dampak kekerasan dan meningkatkan kesadaran untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialami.
Retnaningtyas menggarisbawahi bahwa peningkatan pelaporan kasus bukan berarti jumlah kekerasan meningkat, melainkan menunjukkan kesadaran dan keberanian masyarakat untuk melapor semakin tinggi. "Harapannya, fenomena ‘gunung es’ pada kasus kekerasan akan semakin terkikis dengan adanya dukungan media," ujarnya.
“Keutamaan gender itu penting untuk selalu kita sebarkan ke mana-mana. Bagaimana memperlakukan gender ini dengan baik, gender itu bukan berarti perempuan saja atau anak-anak saja termasuk juga laki-laki. Bagaimana kita memperlakukan semuanya itu secara adil sesuai dengan porsinya,” tambahnya.
Konselor Hukum Rifka Annisa, Nurul Kurniati, mengungkapkan bahwa angka kekerasan di tahun 2024 masih menunjukkan peningkatan, meskipun Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sudah tersedia untuk mendampingi korban. Peningkatan ini, menurut Nurul, juga didorong oleh kesadaran masyarakat yang semakin berani melaporkan kekerasan yang dialami atau disaksikan.
"Keberanian masyarakat untuk speak up semakin kuat, dan hal ini didukung dengan rujukan langsung ke UPTD PPA di kota atau kabupaten terdekat. Namun, penanganan yang kami lakukan langsung hanya berlaku untuk wilayah Kota Yogyakarta,” ujar Nurul.
Peserta seminar di Ruang Kunthi Gedung TP PKK Kota Yogyakarta
Di Rifka Annisa, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap menjadi kasus tertinggi, diikuti oleh kasus kekerasan seksual, termasuk perkosaan dan pelecehan. Laporan biasanya datang dari korban, pihak kedua seperti keluarga atau teman dekat, atau dari lembaga seperti Satgas PPKS di kampus. "Tren melaporkan kekerasan ini semakin masif; banyak yang kini tidak takut lagi mengungkapkan atau mencari bantuan,” tambahnya.
Meskipun demikian, stigma sosial dan ancaman yang dirasakan korban seringkali menghambat proses pelaporan. "Banyak korban yang tidak berani melapor atau memilih menutup diri karena takut stigma dan reaksi masyarakat. Ini menjadi tantangan tersendiri," kata Nurul.
Dalam mendampingi korban, Rifka Annisa juga menyoroti pentingnya pemulihan psikologis yang intensif. Nurul mengungkapkan bahwa upaya terminasi atau penyelesaian secara psikologis memerlukan waktu karena kondisi psikologi korban seringkali berfluktuasi. "Kami berupaya agar korban tidak ketrigger. Pendampingan akan terus dilakukan hingga korban bisa memberdayakan diri secara mandiri," tambahnya.
Melalui seminar ini, diharapkan jurnalis dapat memperkuat perannya dalam memberitakan kasus kekerasan berbasis gender secara bertanggung jawab dan berimbang, serta mendorong publik untuk berpikir kritis dan empati terhadap korban kekerasan dengan fokus terhadap insiden tanpa menyudutkan korban. (Chi)